Bayi Prematur Lebih Berisiko Kesulitan di Bidang Matematika

Operasi aritmetika dasar (pembagian)
Operasi aritmetika dasar (pembagian)
Operasi aritmetika dasar (pembagian) (Image: Amirki)

Bhataramedia.com – Para peneliti telah menemukan fakta bahwa anak-anak prematur mengalami peningkatan risiko pada masalah kognitif dan matematika umum. Studi terbaru dari Universitas Warwick dan Universitas Ruhr Bochum yang diterbitkan di Journal of Pediatrics, berusaha untuk memahami hubungan antara kelahiran prematur dan dyscalculia.

Dyscalculia adalah gangguan belajar pada penyelesaian tugas aritmatika sehari-hari. Masalah ini terjadi ketika anak-anak melakukan pekerjaan lebih buruk dari yang diharapkan pada bidang matematika, padahal pekerjaan tersebut telah disesuaikan dengan tingkat kecerdasan umum mereka.

Seperti dilansir laman Georgia Institute of Technology (21/3/2014), salah satu peneliti pada studi ini, Profesor Dieter Wolke dari Universitas Warwick menjelaskan, “Penurunan kemampuan di bidang Matematika tidaklah sama dengan dyscalculia. Seorang anak dengan IQ dan kemampuan matematika yang rendah dapat memiliki gangguan matematika secara umum tanpa menderita dyscalculia.”

Meskipun hasil studi yang meneliti 922 anak-anak antara usia tujuh dan sembilan tahun ini, menunjukkan bahwa tidak ada korelasi langsung antara kelahiran prematur dan dyscalculia. Namun, penulis menunjukkan bahwa bayi dengan ukuran yang lebih kecil merupakan indikator apakah seorang anak cenderung menderita dyscalculia.

Bayi yang lahir prematur, sebelum 32 minggu masa kelahiran, memiliki kesempatan sebesar 39,4% untuk mengalami gangguan matematika umum, sedangkan bayi yang lahirnya normal (berada di kandungan selama 39-41 minggu) hanya memiliki peluang sebesar 14,9%. Peresentase peluang dari bayi yang lahir prematur untuk mengalami gangguan tersebut meningkat sebesar 3,22 setelah melibatkan faktor-faktor seperti jenis kelamin, latar belakang sosial ekonomi dan ukuran bayi yang lebih kecil.

Sebaliknya, risiko bayi prematur yang didiagnosa menderita dyscalculia memiliki rasio peluang sebesar 1,62 (22,6%), sedangkan pada bayi yang lahir tepat waktu hanya sebesar 13,7%. Persentasi ini tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan.

“Penelitian ini menunjukkan bahwa, bayi prematur tidak mengalami peningkatan risiko menderita dyscalculia, tetapi risikonya akan meningkat jika bayi lahir dengan ukuran lebih kecil,” kata Profesor Wolke.

Dr. Julia Jaekel dari Ruhr-University Bochum, menjelaskan bahwa “Secara umum, bayi prematur dan bayi yang lahir dengan ukuran lebih kecil sering mengalami masalah matematika dan, bahkan jika mereka tidak didiagnosis mengidap dyscalculia, mereka mungkin akan membutuhkan bantuan khusus di sekolah agar tidak tertinggal secara akademis.

Melalui dukungan yang tepat dari guru dan orang tua, dapat membantu anak-anak untuk memahami masalah dan mempelajari cara-cara untuk meningkatkan kemampuan matematika mereka. Sama seperti kasus disleksia, tidak berarti bahwa anak-anak yang mengidap disleksia tidak akan dapat membaca dan menulis pada standar yang tinggi. Begitu pula dengan anak-anak yang mengidap dyscalculia, kemungkinan juga mereka tidak akan selalu kesulitan untuk lebih memahami persoalan yang berhubungan dengan matematika.

“Guru harus menyadari akan masalah ini dan perlu bekerja pada cara-cara yang dapat membantu anak-anak prematur menangani beban kerja kognitif yang tinggi dan integrasi informasi yang dibutuhkan mereka untuk menyelesaikan tugas-tugas matematika di sekolah,” kata Prof Wolke.

Referensi Jurnal :

Julia Jaekel, Dieter Wolke. Preterm Birth and Dyscalculia. The Journal of Pediatrics, 2014; DOI: 10.1016/j.jpeds.2014.01.069.

You May Also Like